Tidak mau ribet beli alat musik? Silakan belanja online via Shopee

Senin, 15 Agustus 2016

Jurus Barakah Kyai Bagian XV : Mengunjungi Negeri Rasulullah

Walimatus Safar 11DQ1437-14082016
Tubuh ini rasanya bergetar hebat. Getaran yang sangat terasa, sehingga menelusup ke relung hati yang terdalam. Bukanlah qalbun apalagi dada, tetapi alfakir meyakini ini adalah getaran di kedalaman fuadzku!
     Masya Allah… Ya Allah, benarkah hamba-MU yang fakir segalanya ini benar-benar telah memulai berjalan menuju panggilan-MU? Langkah ini terhenti dan terpaku. Alfakir baru tersadar ketika seorang satpam sebuah bank syariah menyambutku dengan mengucapkan salam, mempersilakan kami [ saya dan istri ] masuk ke dalam ruang pendaftaran calon jamaah haji.
     Subhanallah… Baru kali ini alfakir masuk ke sebuah bank disambut dengan salam Islami.  Perasaan hanyut, syahdu dan melambung di ruang direktur yang kemudian membuatku serasa di ruangan yang sangat sejuk, layaknya di negeri antah berantah. Bukan sejuk karena hembusan AC, atau angin kemarau yang menelusup lewat sela pintu yang tidak tertutup rapat. Siapa pun bisa membedakan kedua semilir angin ini. Dan angin duniawi itu hanya mampu menyibak keringat di pori-pori kulit saja. Lalu siapakah yang menghembuskan kesejukan ini? Wallahu a’lam. Mungkinkah hanya perasaan sok atau gede rasaku saja? Jawabannya tetap sama WALLAAHU A’LAM BISH-SHAWAB.
     Peristiwa ‘bathiniyyah’ ini berlangsung ketika kami sudah mantap mendaftar haji di sebuah bank syariah pada November 2010 yang lalu. Perasaanku di depan bank itu rasanya bukanlah sebuah nervous apalagi suka cita, tetapi lebih kepada keraguan yang sekelebat sempat menghantui: Apakah saya mampu melunasi pembayaran porsi calon haji puluhan juta rupiah dalam tempo 1,5 tahun ke depan bersama seorang istri? Alfakir sadar diri tentang kemampuan duniawi. A’udzubillaahi minasy syaithaanir rajiim… Beruntungnya Allah menyadarkanku dari keterpakuan beberapa detik itu. Kata orang berilmu, bisikan Malaikat itu akan lebih kuat membentengi daripada rayuan nina bobo Syaitan laknatullah ketika kita segera ‘fokuskan kehambaan’ kita pada Sang Maha Pencipta.
     Dan Alhamdulillah… perasaan itu pada detik selanjutnya terhancurkan ketika kami keluar dari ruang direktur, setelah selesai menandatangani tanpa ragu setumpuk kertas persyaratan. Kami sama-sama merasakan dan saling memandang. Ada keharuan yang membuncah serta kemantapan hati nan membaja, menerobos masuk memenuhi kekosongan hati sebelumnya. Sehingga tanpa sadar setitik air bening menggenang di pojok mata. Allaahu akbar, ternyata saat ini kami sungguh-sungguh nyata sebagai calon haji dengan langsung mendapatkan nomer porsi!

Menyombongkan Allah Dalam Hati Agar Kesombongan Sebagai Hamba Tidak Menguasai
     Rasanya begitu cepat jam di dinding rumah berputar, begitu cepat pula kalender bulan berganti. Sehingga kami juga harus berkejaran dengan waktu agar tidak sampai terlambat mengisi setoran. Tapi kami harus mengakui dan bersyukur kepada Allah, karena sesungguhnya uang setoran itu datangnya lebih cepat dari tanggal setoran yang sudah kami tentukan sendiri tiap bulannya !
     Sesungguhnya, sebelum berangkat haji saja Allah sudah begitu banyak menunjukkan ‘ketepatan janji-NYA’… Ini bukanlah pepesan kosong apalagi pernyataan takabbur, tetapi lebih kepada mempertontonkan ‘Kemaha-Sombongan’ Allah SWT. di hatiku sebagai hamba-NYA yang hanya bisa menuntut dan menuntut saja pada Sang Khalik. Demi Dzat-NYA Yang Maha Kuasa, kami dan kita semua hanyalah makhluk yang hanya bisa berencana dan berikhtiar saja, selanjutnya keputusan mutlak hanya ada pada Sang Maha Berkehendak, Allah SWT.
     Masya AllahDahsyat sekali Allah mengatur kehidupan ini sehingga kami acapkali terpaku, terbengong-bengong dan kadang bermalu hati, karena sebelumnya sempat timbul banyak pertanyaan dalam hati: Dari mana akan alfakir dapatkan dana untuk mengisi tabungan haji bulan ini? Lalu bagaimana dengan kebutuhan yang lainnya? Mungkinkah? Mungkinkah? Pertanyaan-pernyataan su’udzon pada kemampuan diri dan keraguan akan qudrat dan iradat-NYA yang sedang dan akan menimpa nanti acap kali menggoda keimanan. Alfakir kadang lupa, betapa rakhmat Allah itu begitu luasnya, tanpa batas! Astaghfirullaah….
     Guru kita mengajarkan agar banyak-banyak membaca shalawat, bahkan jika mampu di setiap gerak langkah, tarikan dan hembusan nafas kita yang keluar senantiasa diiringi dengan bacaan ini. Setidaknya tiga kali sehari janganlah sampai melupakannya, terutama ketika kegundahan hati tengah mendera. Meski tidak ‘istiqamah dalam kualitas’ dan kuantitas, insya Allah ‘bisikan Malaikat’ kerap akan mengingatkan langkah kita: “ kami ada karena Rasulullah SAW diadakan lebih dulu oleh Allah. “ Maka, marilah bersama membaca shalawat : “ Shallallaahu ‘alaa Muhammad atau Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad! “ Yakinlah setelah itu PASTI akan ada ketenangan, lebih optimistis dan berbaik sangka lagi pada takdir Allah yang sedang berjalan.

Susahnya Menghitung Nikmat Allah Meski Dalam Bentuk Uang Sendiri
     Agak kesulitan alfakir menuangkannya dalam bentuk tulisan. Karena alfakir sendiri hingga detik ini tidak mampu menghitung-hitung dan ‘menjawab jujur’ ketika sesekali ada kawan yang terheran dan bertanya-tanya tentang kisah ‘perjalanan finansial’ kami dalam proses pendaftaran haji hingga sekarang. Mereka memandang, sekali lagi memandang ada yang luar biasa dalam kehidupan kami.
     Masya Allah… Begitu banyakkah uangku sehingga begitu susah untuk menghitung dan menulisnya di sini? Memandang orang lain memang akan lebih mudah daripada memandang diri sendiri.
     Rasa-rasanya seandainya diberi rezeki tak terhitung alfakir akan merasa tidak pantas dan kuat, akan pingsan dan setelah sadar mungkin segera akan menyusun daftar kemewahan yang harus menjadi prioritas. Namun, semoga jika itu terjadi hati ini akan terarahkan untuk lebih memilih mengucapkan “ innalillahi wa-inna ilaihi raaji’uun “ daripada kalimat “ alhamdulillah… “ Lho, apakah itu tidak salah menerapkan kalimat? Kalau ada yang bertanya seperti itu tanyakan saja langsung pada ahlinya! Karena kalau bertanya kepadaku jawabannya tidak akan jauh dari kalimat : Lho, wong ini kan masih seandainya?
     Ada kisah ketika alfakir sowan dan kali pertama menemui seorang ‘alim. Dalam sebuah perbincangan agamis tiba-tiba beliau beralih menatapku dan bertanya tanpa jeda:
     Apakah kamu ingin kaya?
     Tidak. “
     Betul, apakah kamu tidak ingin kaya?!
     Tidak!
     Jawabanku dua kali dengan jawaban yang sama, spontanitas seraya geleng kepala sebagai penegasan. Sehingga beliau kemudian tersenyum menunduk, berujar dengan, menurut pendengaranku, datar-datar saja;
Baiklah, kalau kamu tidak ingin kaya saya doakan kamu menjadi orang miskin.
     Banyak santri beliau yang lain yang mengkisahkan bahwa beliau adalah orang yang ‘luar biasa’. Kata-katanya akan menjadi nyata karena mempunyai kemampuan ‘melihat’ masa depan. Namun alfakir tetap tidak menyesal dan berusaha tawakkal. Tetap terus bekerja, bekerja dan berdoa. Setelah itu pasrah bongkokan kepada Sang Maha Pemberi Rezeki. Kita sama-sama meyakini, ketika karunia Allah akan ditimpakan kepada seseorang, maka seluruh umat manusia tidak akan mampu menghalangi. Sebaliknya ketika kehinaan sudah Allah timpakan kepada seseorang, seluruh umat manusia juga tidak akan mampu memuliakannya.
     Sehingga kemudian tanpa sadar alfakir merasakan, sepertinya seiring berjalannya waktu, Allah sebaliknya justru terus menambah ‘pundi-pundi kekayaan’ kepada keluarga kami. Bukanlah kekayaan materi yang alfakir maksud, karena spesifikasi sosok orang kaya antara kami dengan orang lain mungkin berbeda pandangan dan pemaknaan, tetapi lebih kepada kekayaan ‘perasaan hati’. Dalam kalimat yang lebih tegas kami lebih setuju pemaknaan sosok orang kaya adalah sebagai orang yang sudah merasa cukup dengan rezeki yang diterimanya, berapapun jumlah yang dikaruniakan Allah kepadanya, meski bagi orang lain itu tidaklah ada apa-apanya. Sebaliknya sosok orang miskin adalah orang yang selalu merasa kurang meski sesungguhnya bagi orang lain ia sudah bergelimang harta dan kemewahan.
    
Hiduplah Sesuai Proses Yang Dikehendaki Allah dan Alam
[ Mengalir Seperti Air Yang Bening ]
     Saat ini, setelah kurang dari enam tahunan menunggu akhirnya Allah berkenan akan menerbangkan kami menuju tempat tersuci-NYA di muka bumi, Makkatul-Mukarramah dan Madinatul-Munawwarah, insya Allah pada tanggal 27 Agustus 2016 nanti.
     Yang pasti kami akan terus banyak bertanya dan belajar, belajar memandang ‘masalah’ dengan ketelanjangan mata serta kedalaman hati, bahwa dunia ini betul-betul fana, washilah atau sarana serta amanat semata, untuk menuju pada keabadian [ alam akhirat ].
     Beberapa nasehat sang guru dan ayah tercinta [ almarhum ] banyak mempengaruhi hidup dan kehidupan kami. Dengan kerendahan hati alfakir merangkumnya di sini;

 Hiduplah sesuai proses yang diinginkan oleh Sang Maha Pencipta, sebaliknya janganlah kalian hidup sesuai kehendak anda [ nafsu ].
Persoalan : Bagaimana mungkin kita tahu Allah akan mentakdirkan kita seperti apa?
Solusi : Dekati Alim ulama, di sana ada ribuan jawaban.

Carilah karunia Allah yang ada di sekitarmu saja dulu. Karena mungkin saja hidayah Allah sesungguhnya tidak lebih dari satu langkahmu.
Persoalan : Terkadang orang menginginkan yang lebih sehingga berlari cepat menggapai lambaian kesuksesan yang jauh dari pandangan mata.
Solusi : Tidak selalu kesuksesan itu meninggalkan tanah kelahiran dengan merantau ke negeri orang. Tetapi terkadang kesuksesan itu sesungguhnya ada di depan mata. Tinggal bagaimana seseorang itu pandai-pandai menggali, mengolah dan mewujudkannya menjadi sebuah harapan nyata.

Ikhlaskan seikhlas-ikhlasnya musibah ataupun ujian yang Allah timpakan kepadamu. Semakin cepat engkau mengikhlaskannya maka akan semakin cepat pula Allah menggantinya.
Persoalan : Didera musibah atau ujian, bisnis merugi, tertipu oleh kolega, dan lain-lain.
Solusi : Jangan pantang menyerah dan cepat bangkitlah, selalu ada jalan ketika semua dikembalikan kepada Allah, senantiasa membaca shalawat kepada Rasulullah SAW agar diberi ketenangan hati dan fikiran.

Belilah kekayaan setelah itu menjadi kebutuhan. Dan jangan membeli kekayaan ketika hanya menginginkannya saja.
Persoalan : Teman, tetangga sudah lebih dulu bermewah-mewah dan bermegah-megah. Masa sich, kita tidak bisa seperti mereka?
Solusi : Jangan mudah gimir, tengadah sedikit saja untuk ‘mencuri’ ilmunya kenapa mereka bisa kaya, tetapi kemudian lebih banyak menunduk untuk selalu melihat bayangan diri.

“ Saya tidak mungkin bisa seperti kamu. Kamu sudah jelas penghasilannya dari sana-sini. “
Persoalan : Seorang kolega pernah mempertanyakan ketidakmustahilan dirinya bisa menggapai apa yang menurutnya hanya angan-angan. Dia memandang dirinya tidak mungkin mampu membeli ‘sesuatu yang terlalu mahal’ karena melihat realita income dirinya sendiri setiap bulan.
Solusi 1 : Seseorang itu perlu bermimpi, punya cita-cita kemudian berikhtiar dan berdoa tanpa prasangka buruk pada kemampuan diri dan takdir-NYA. Hak Allah yang akan mewujudkannya atau sebaliknya. Keduanya pasti mengandung hikmah.
Solusi 2 : Orang tidak punya seharusnya juga bisa bercita-cita dengan mantap agar bisa berhaji. Jika suatu saat tidak bisa terlaksana karena tidak mampu atau meninggal, setidaknya ia sudah mendapatkan pahala dari niatnya tersebut.
-------
“ Jangan pernah ragu untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima [ berhaji ]. Biayanya memang mahal tapi sesungguhnya itu terlalu murah untuk membeli karcis tanda masuk ke Surga.”
Persoalan : Salah satu pihak [ istri atau suami ] dan atau keluarga yang lain lebih memilih memberi arahan membeli mobil atau yang lainnya, merasa banyak dosa karena khawatir dan malu di Mekkah atau madinah nanti Allah memberi teguran keras karena kesalahannya selama ini, dan alasan-alasan yang lainnya.
Solusi : Mantapkan niat, fokuskan hati menghadap Sang Maha pencipta : manusia dilahirkan tidak membawa apapun, ia tak lebih seorang hamba yang ‘telanjang’ dan memerlukan ‘pakaian’ Allah Sang Penciptanya. Dan beruntunglah orang yang ditegur Allah ketika masih hidup serta yakinlah Allah akan ‘mengganti berlebih-lebih’ biaya haji yang dikeluarkan.
     Wallaahu a’lam bish-shawab.

[ Semoga tulisan ini akan selalu menjadi kaca benggala bagi alfaqir serta membawa manfaat untuk pembaca semua ].
Dihadiahkan untuk ayahku tercinta semoga beliau ditempatkan di tempat yang termulia, seperti halnya Allah menempatkan manusia-manusia pilihannya.

0 komentar: